Pages

Subscribe:
SELAMAT DATANG DI BLOG INI

Labels

Selasa, 29 November 2011

Belajar Mengenalmu

Aku mengenalmu
pada sebait angka tak kukenal
di malam – malam langit basah
dalam sebuah lingkar
yang kusebut itu waktu…
Ini bukan akhir….
karna esok mentari
kan hadir menyapamu…
Cukuplah aku menjadi kata
menemanimu dalam sepi….
cukuplah aku menjadi embun
menyapamu dalam kesejukan…
cukuplah aku…!!!
Karna….
aku mengenalmu
pada sebait angka tak kukenal

Bidadariku


namamu tak terukir
dalam catatan harianku
asal usulmu tak hadir
dalam diskusi kehidupanku
wajah wujudmu tak terlukis
dalam sketsa mimpi-mimpiku
indah suaramu tak terekam
dalam pita batinku
namun kau hidup mengaliri
pori-pori cinta dan semangatku
sebab
kau adalah hadiah agung
dari Tuhan
untukku
bidadariku

Fadhilah Bulan Muharrom


Masa berlari begitu pantas. Kini kita berada di ambang bulan Muharram (1432H) iaitu permulaan bagi Kalendar Hijriah. Bulan yang dimuliakan ini menyimpan begitu banyak peristiwa penting bagi umat Islam terutamanya sirah penghijrahan Rasulullah (saw) dan para Sahabat (ra) dari kota Makkah al-Mukarramah ke kota Madinah al-Munawwarah yang akhirnya telah membawa kepada kecemerlangan umat Islam.
Di samping peristiwa-peristiwa penting yang berlaku dalam bulan ini, bulan Muharram juga mempunyai keistimewaan dan kelebihan yang tersendiri. Bulan ini adalah salah satu dari empat bulan yang dimuliakan dan diberkati seperti yang termaktub dalam al-Quran yang maksudnya:-
“Sesungguhnya bilangan bulan-bulan di sisi (hukum) Allah ialah dua belas bulan, (yang telah ditetapkan) dalam kitab Allah semasa ia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati (arba’atun hurum). Ketetapan yang demikian itu ialah agama yang betul lurus, maka janganlah kamu menganiayai diri kamu dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar laranganNya)…” (at-Taubah, 36)
Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah (ra), Rasululah (saw) telah bersabda yang maksudnya;
“(Ketahuilah) Sesungguhnya, zaman beredar sebagaimana keadaannya pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri daripada 12 bulan. Empat daripadanya adalah bulan haram, iaitu tiga bulan berturut-turut: Zulkaedah, Zulhijjah dan Muharram. Dan Rejab diapit oleh Jamadilakhir dan Sya’ban.” (HR Bukhari & Muslim)
Muharram dikenali dengan namanya itu kerana ia adalah bulan yang dimuliakan. Allah azza wajalla menyebut, ( فلا تظلموا فيهنّ انفسكم ) iaitu “maka janganlah kamu menganiayai diri kamu” di mana ia bermaksud jangan menganiayai diri kamu di dalam bulan-bulan yang mulia ini kerana dosa-dosa yang dilakukan dalam bulan ini lebih besar berbanding dalam bulan-bulan yang lain.
Ibn Abbas (ra) berkata bahawa ayat “maka janganlah kamu menganiayai diri kamu” merujuk kepada semua bulan, kemudian empat bulan ini diasingkan dan dimuliakan. Justeru, dosa yang dilakukan dalam bulan ini lebih serius dan amalan baik yang dilakukan akan diberikan ganjaran pahala yang besar.
Kelebihan Berpuasa Sunat Dalam Bulan Muharram
Terdapat beberapa hadis Nabi (saw) yang menganjurkan berpuasa sunat dalam bulan Muharram. Di antaranya seperti dibawah.
Dalam satu riwayat datang seorang lelaki dari Bahilah datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya, “Ya Rasulullah, saya adalah lelaki yang datang menemui anda pada tahun pertama” Ujar Nabi SAW, “Kenapa keadaanmu telah jauh berubah padahal dahulunya kelihatan baik? Kata lelaki itu, “Semenjak berpisah dengan anda, saya tidak makan hanyalah di waktu malam” Maka tanya Rasulullah SAW “Kenapa kamu seksa dirimu?” Lalu sabdanya “Berpuasalah pada bulan sabar – yakni bulan Ramadan dan satu hari dari setiap bulan!” Tambahlah buatku kerana saya kuat melakukannya! Ujar lelaki itu. “Berpuasalah dua hari! Sabda Nabi. “Tambahlah lagi!” Mohon lelaki itu pula. Maka Nabi SAW bersabda “Berpuasalah pada bulan-bulan haram, lalu berbukalah! (kemudian diulangi sebanyak tiga kali) sambil mengucapkan itu Nabi SAW memberi isyarat dengan jari-jarinya yang tiga, mula-mula digenggam lalu dilepaskan” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah dan Baihaqi dengan sanad yang baik).
Perkataan “berpuasalah pada bulan-bulan haram” itu adalah merujuk kepada bulan Zulkaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rejab.
Dari Abu Hurairah (ra) berkata, Rasulullah (saw) bersabda yang maksudnya;
“Puasa yang lebih utama selepas puasa Ramadan ialah puasa di bulan Allah al-Muharram, manakala solat yang lebih utama selepas solat fardhu adalah solat malam.” (HR Muslim, Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan Ibn Maajah)
Ayat “bulan Allah” menghubungkan nama bulan kepada nama Allah dalam struktur tatabahasa kepunyaan / keakraban bagi membuktikan kepentingan bulan tersebut. Al-Qari (rh) berkata; “Zahir maksud bagi hadis di atas adalah berpuasa pada keseluruhan bulan Muharram”.  Namun, telah dibuktikan bahawa Rasulullah (saw) tidak pernah berpuasa sepenuh bulan selain dari Ramadhan. Oleh itu, hadis ini mungkin bertujuan untuk mengalakkan memperbanyakkan puasa dalam bulan Muharram dan bukannya berpuasa pada keseluruhan bulan.
Hal ini diperkuatkan oleh satu hadis Rasulullah (saw) yang bermaksud;
“Berpuasalah sebahagian dari bulan Muharram dan tinggalkanlah dari sebahagian yang lain (diucapkan tiga kali)” (HR Abu Daud)
Selain itu, dalam bulan ini kita disunatkan juga berpuasa pada 9 dan 10 Muharram yang dikenali dengan puasa hari Asyura.
Akhir sekali, dalam keghairahan beramal dan meningkatkan ibadah, kita perlu memastikan setiap amalan yang kita lakukan hendaklah bersandarkan dari sumber yang jelas dan pasti dari as-sunnah semoga amalan kita diterima oleh Allah (swt) dan beroleh ganjaran pahala dari sisiNya.
Wallahua’lam.

KH.Hasyim Asy'ari


 
Hadrotus Syekh Hasyim As’ari . Nama ini begitu popular sebagai tokoh pengembang agama Islam di Nusantara. Kh Hasyim As’ari adalah kakek KH Abdurrahman Wahid presiden Indonesia ke 4 sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, pendiri Nahdhatul Ulama (Organisasi Islam terbesar di Indonesia). Beliau juga berasal dari garis keturunan Sultan Hadiwijaya raja Kerajaan Pajang. Kerajaan ini adalah pecahan dai Kerajaan Mataram Islam. Kh Hasyim As’ari lahir tanggal 10 April 1875 dan wafat tanggal 25 Juli 1947 dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur.

Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri dapat diurutkan sebagai berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang).

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya’kub tersebut.

Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.

KH Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul UlamaTanggal 31 Januari 1926 bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi keagamaan ini pun berkembang pesat dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga semakin besar. NU berperan besar bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Sebagai orang yang berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat bersifat toleran terhadap aliran atau pendapat yang berbeda dengan konsep dan pemikirannya. Ini dibuktikan dengan akrabnya beliau dengan Kh Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.. Ia mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah dengan menghindari perpecahan di tubuh umat ISlam. Pada masa pendudukan Jepang, Kyai Hasyim Asy'ari pernah ditangkap tanpa sebab yang jelas. Namun kemudian ia dibebaskan melalui perjuangan anaknya anaknya, K.H. Wahid Hasyim. Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.

Senin, 28 November 2011

photo

SINAR


Hafyzov
29-11-2011

Masih kucari….
Masih kunanti…
Mungkin kan kutemukan seberkas sinar terang
Tuk lewati gelap ini
Ketika kini…
Aku masih berselimut ragu
Kemana aku kan berlalu?
Tlah berulangkali aku bersuara dan berteriak
Hingga tenggorokanku serak
Namun tak pernah bisa membuatku berbuat banyak
Aku terbatuk
Aku terantuk
Aku terduduk
Aku seakan tak lagi berbentuk
Sinar….
Hampirilah aku disini
Biar aku mampu
Cairkan ragu yang trus membeku
Didalam dadaku
Sinar….
Berilah aku seberkas sinarmu saja

Minggu, 27 November 2011

photo

Biografi


BIOGRAFI H. Muammar ZA
Al-Quran Membawaku Keliling Dunia
Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.
Malam baru saja beranjak, ketika sesosok pria yang masih terlihat muda menaiki panggung dan duduk di kursi yang disediakan. Usai salam dengan suara rendah cenderung serak, pria berperawakan ramping itu mulai membaca ta’awudz dan basmalah. Dengan mata setengah terpejam, perlahan, ia mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah yang bernada rendah.

Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi, melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir, terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama, bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai. Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas, puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng takjub.

Ia memang “legenda”. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua umat Islam Indonesia, terutama di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di Indonesia, jawabnya pasti Ustaz H. Muammar Z.A.

Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya masuk ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.

Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi tawa segar

Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.

“Saya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina. Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Ka’bah,” tuturnya haru. “Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Ka’bah saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit.”
Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi, pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat, tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.

Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.

Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian. Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan setia menunggu kehadirannya.

“Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji,” kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. “Selesai mengaji, jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan pagi.”

Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan akhirnya, lagi-lagi, ditandu.

Ia memang tidak pernah memilih-milih tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.

“Niat saya itu kan berkhidmah,” tutur Muammar dengan rendah hati. “Istana, saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.”

Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. “Mereka itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur,” katanya tulus.

“Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta masak di perjalanan.”

Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an. Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman Tuhannya.[*Bersambung].

Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.

Meski masih terlihat cukup muda, Ustaz Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun (Sep 05, saat penulisan – Red). Ia dilahirkan di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj. Mu’minatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.

Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan tarhiman, selawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan salat Subuh.

Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.
Namun demikian bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.

“Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he,” kenang Muammar.
Sekitar awal tahun ‘60-an, suara dan lagunya memang sudah mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.

Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.

Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.

Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.
“Wah, saya nggak siap,” ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta mengajar di sana.[*Bersambung]

Kisah H. Muammar Z.A. by allmyfree