Hafyzov
19 Mei 2012
Mungkin aku tak setulus itu
kepadamu. Loyalitasku kadang terjangkit kebosanan. Ketika aku memandang gadia
lain, aku selalu tergoda. Mereka kadang dan sering tampak lebih cantik darimu.
Sementara kini, aku lupa tentang cintaku. Apakah aku mencintaimu karena
kecantikanmu atau sebaliknya?.
Akhir akhir ini, loyalitasku
semakin dicoba. Aku sering bentrok denganmu. Hanya gara gara sms yang tak
dibalas. Jika aku memang keliru, aku minta maaf. Tapi sebentar, sebenarnya kamu
atau aku yang benar? Dan yang salah siapa?. Kau terus ngotot bilang aku.
Seminggu yang lalu, kau
menuduhku selingkuh. Kini kau memvonisku playboy. Aku bersabar. Pelan
pelan kutanyakan. Kau ternyata menebak sebuah nama. Astaga!! Alangkah kagetnya
aku. Kau menuduh aku selingkuh dengan adikku. Adik kandungku sendiri. Tuduhan
mentah, impossible, dan sampah. Disini mungkin salahku juga, kenapa aku
tak memperkenalkan adikku kepadanya?. Akhirnya kau juga minta maaf. Aku tau
meski aku benar dalam masalah ini, dia bukan orang yang salah.
Suatu hari kau bilang padaku,
“aku tau, kau sayang padaku. Namun kau tak boleh berlebihan dengan rasa
sayangmu itu. aku khawatir ketika aku atau justru kau sendiri berubah. Aku
hanya wanita, kau yang menilaiku cantik, bukan aku. Ketahuilah bahwa aku tak
sempurna, kau yang memilihku. Aku juga tak bisa untuk menebak isi hatimu.
Tentang kesetiaanmu. Aku tak tau seberapa lama kau akan mencintai dan
menyayangiku. Bila sampai nanti, mungkin seperti itulah harapanku. Aku juga
sayang kepadamu. Aku ingin memilikimu, sebagai harapan terbesarku. Harapan itu
“meraksasa” dalam hatiku. Bila kau benar benar siap, pintalah aku kepada orang
tuaku. Itu akan lebih baik untuk menghindari segenap kabar angin yang akan
memojokkan kita ke sudut pergumulan kehidupan yang asing”.
Aku terharu mendengarnya.
Terima kasih, kau mau percaya padaku sampai kau memberiku harapan sebaik itu.
pada kata katamu, sebenarnya aku harus berpikir berkali kali untuk tak menerima
pernyataanmu. Tapi sama sekali aku tak sesiap itu. bismillah saja tentu tak
cukup. Kau sendiri dan aku saja masih kuliah, kau tau itu. aku menghormati
ucapanmu. Bila kau mau menungguku, silahkan. Cuma disini aku tak menyempatkan
diriku untuk berjanji. Yang jelas, bila ada seseorang yang lebih dulu mengetuk
pintu rumahmu, jika dia bukan aku, kurasa dia lebih siap.
Jika aku harus memintamu
sekarang, rasa rasanya aku malu. Malu sekali kepada ayah ibumu. Aku takut
mereka menertawakanku dan bertanya, “jaminan apa yang bisa membuat aku percaya
padamu, pemuda? Kau ini nekat”. Bulir bulir di sudut matamu berkata bahwa kau
menangis. Kau tetap menginginkan aku. Aku meyakinkanmu bahwa apa yang kau
terima nantinya itulah yang terbaik. Percayalah janji Allah tak pernah bohong.
Kini, kau tersenyum ketika aku
menghadiri resepsi pernikahanmu. Aku yakin itu senyum bahagia milikmu. Kau
bersanding dengan suamimu, sahabat karibku di pelaminan. Aku ucapkan: “BARAKALLAHU
LAKA WABARAKA ‘ALAIKA WAJAMA’A BAINAKUMA FI KHAIR”.
Sungguh aku tak menderita
dengan hal ini. dia yang menyarankanku dulu supaya tak terlalu habis habisan
untuk menyayanginya. Kurasa ini yang terbaik buat dia juga buat aku.
Dia telah menyempurnakan
separuh keimananannya. Dia juga telah patuh kepada sunnah nabinya. La Vita
Nova, selamat menempuh hidup baru.